PERJALANAN HUKUM AGRARIA DI
INDONESIA
A. Agraria
Masa Kerajaan
Sebelum penjajahan, Indonesia masih berada pada
zaman kekuasaan raja-raja. Rakyat menganggap dan percaya bahwa raja adalah
orang suci. Rakyat merasa bangga jika miliknya diperlukan raja, orang yang
telah dia nobatkan dalam hatinya sebagai kepanjangan tangan Tuhan di muka bumi.
Termasuk dalam hal penguasaan tanah dan kepemilikan tanah. Hukum tanah
berdasarkan sistem feodalisme, dibangun di atas hukum tak tertulis bahwa tanah adalah milik raja. Rakyat adalah milik
raja juga. Di kerajaan Mataram, sekarang Surakarta dan Yogyakarta, tanah adalah
kepunyaan Sultan dan Sunan (kagungan dalem). Rakyat hanya pemaro dan statusnya
peminjam (wewenang anggaduh).
Posisi petani meskipun dalam keseharian sebagai
pemilik tanah namun hakekatnya lebih tepat kalau disebut sebagai penggarap.
Petanilah yang mengolah lahan dan mereka mendapatkan sebagian hasil pertanian
sebagai upahnya. Dan raja hampir secara hakekat memiliki posisi sebagai pemilik
tanah. Sebab raja hanya menunggu setoran dari para petani dalam bentuk
upeti-upeti, ibarat pemilik tanah yang menerima hasil tanahnya setelah membayar
upah buruh. Semuanya dilakukan sebagai salah satu bentuk penghormatan rakyat
kepada pemimpinnya yang suci. Ketidakadilan bagi rakyat adalah kewajaran
sepanjang itu tidak berat dipikul.
Raja selaku pihak yang memiliki otoritas pada
penguasaan tanah, selanjutnya membagi-bagi tanahnya pada para bangsawan
(priyayi), agar bisa terolah dan menghasilkan untuk kepentingan raja. Sebagai
catatan, raja tidak melakukan apa-apa pada tanah tersebut, sehingga umumnya
tanah yang diberikan pada bangsawan berupa tanah-tanah terlantar. Dalam hal
ini, tanah bukan faktor dominan yang diperhatikan oleh raja, karena raja lebih
mementingkan penguasaan pada orang-orangnya. Jadi yang dilakukan oleh raja
adalah membekali para pegawainya dengan tanah. Tentunya dibalik itu, setiap
pegawai yang yang mendapatkan jatah tanah memiliki kewajiban untuk menyetor
upeti kepada raja.
Seringkali upeti untuk Raja cukup tinggi sehingga
memberatkan pegawai yang menerima tanah. Untuk meringankan beban upeti, para
pegawai raja membagi-bagi lagi tanahnya dengan merekrut lebih banyak lagi
rakyat sebagai penggarap. Tujuannya agar produksi lahan per satuan luasnya
makin tinggi dengan pengelolaan intensif. Namun hal ini berakibat pengecilan
(versnippering) tanah garapan rakyat. Terjadilah penindasan para pengawai raja
dari yang paling atas sampai yang paling bawah dengan mengatasnamakan raja.
Penggarap pun makin menderita. Inilah perbudakan struktural dalam bidang
ekonomi, dan sosial sebagai imbas sistem politik feodal.
Feodalisme yang pernah ada di Eropa atau Jepang
adalah sistem di mana orang ikut tanah, sedang di negeri kita tanah ikut orang.
Penguasa memiliki tanah, dan karena itu ia menguasai orang yang hidup di sana.
Di negeri kita penguasa memiliki orang lalu orang itu diberi tanah untuk sumber
hidupnya. Dalam sistem feodal, penguasa mengembangkan tanahnya agar makin
banyak orang mau tinggal di sana. Di negeri kita dulu, penguasa menelantarkan
tanahnya sehingga ia terpaksa bergantung pada orang-orang yang dikuasainya.
Hubungan Raja, pegawai, dan rakyat dalam sistem
feodal bukan tanpa konflik. Konflik kerapkali terjadi antara raja (bangsawan)
dan rakyat yang menggarap tanah hasil pemberian raja. Bentuk konflik yang
muncul bersifat horizontal dan vertical, sebagai implikasi dari adanya penguasa
tunggal atas tanah. Bagi petani yang seluruh hidupnya tergantung dari hasil
tanah garapan, tanah dianggap sebagai pusaka (heirloom land) dan tidak sekedar
symbol apalagi mata dagangan (commodity).
B. Pada
masa VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie)
VOC didirkan
pada tahun 1602 – 1799 sebagai badan perdagangansebagai upaya guna menghindari
persaingan antara pedagang Belanda kala itu.VOC tidak mengubah struktur
penguasaan dan pemilikan tanah, kecuali pajak hasil dan kerja rodi.
Beberapa
kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindasrakyat Indonesia yang
ditetapkan oleh VOC, antara lain :
1. Contingenten,
yaitu pajak hasil atas tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa
kolonial (kompeni). Petani harus menyerahkan sebagian dari hasil pertaniannya
kepada kompeni tanpa dibayar sepeser pun.
2. Verplichte
leveranten, yaitu suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan
para raja tentang kewajiban meyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran
yang harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini,
rakyat tani benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas
apa yang mereka hasilkan.
3. Roerendiensten,
yaitu keijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang dibebankan kepada rakyat
Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian.
C. Masa
Pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811)
Awal dari
perubahan struktur penguasaan dan pemilikan tanah dengan penjualan tanah,
hingga menimbulkan tanah partikelir.Kebijakannya itu adalah dengan menjual
tanah-tanah rakyat Indonesiakepada orang-orang Cina, Arab maupun bangsa Belanda
sendiri.Tanah itulah yang kemudian disebut tanah partikelir.Tanah partikelir
adalah tanaheigendomyang mempunyai sifat dan corak istimewa.Yang
membedakandengan tanaheigendomlainnya ialah adanya hak-hak pada pamiliknya yang
bersifat kenegaraan yang disebutlandheerlijke rechtenatau hak pertuanan. Hak
pertuanan, misalnya:
1. Hak
untuk mengangkat atau mengesahkan kepemilikan sertamemberhentikan kepala-kepala
kampung/desa
2. Hak
untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa dari
penduduk;
3. Hak
untuk mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa uangmaupun hasil pertanian
dari penduduk;
4. Hak
untuk mendirikan pasar-pasar;
5. Hak
untuk memungut biaya pemakaian jalan dan penyebrangan;
6. Hak
untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong rumput untuk keperluan
tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-gudangnya dan
sebagainya.
D. Masa
Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Rafles (1811-1816)
Pada masa Rafles
semua tanah yang berada di bawah kekuasaan government dinyatakan sebagai
eigendom government.Dengan dasar inilah setiap tanah dikenakan pajak bumi.Dari
hasil penelitian Rafles, pemilikan tanah-tanah di daerah swaprajadi Jawa
disimpulkan bahwa semua tanah milik raja, sedang rakyat hanya sekedar memakai
dan menggarapnya. Karena kekuasaan telah berpindah kepada Pemerintah Inggris,
maka sebagai akibat hukumnya adalah pemilikan atas tanah-tanah tersebut dengan
sendirinya beralih pula kepada Raja Inggris.Oleh karena itu, mereka wajib
memberikan pajak tanah kepada Raja Inggris.
Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pajak tanah
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pajak
tanah tidak langsung dibebankan kepada petani pemilik tanah,tetapi ditugaskan
kepada kepala desa. Para kepala desa diberi kekuasaan untuk menetapkan jumlah
sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani.
b. Kepala
desa diberikan kekuasaan penuh untuk mengadakan perubahan pada pemilikan tanah
oleh para petani. Jika hal itu diperlukan gunamemperlancar pemasukan pajak
tanah. Dapat dikurangi luasnya atau dapatdicabut penguasaannya, jika petani
yang bersangkutan tidak mau atau tidak mampu membayar pajak tanah yang
ditetapkan baginya, tanah yang bersangkutan akan diberikan kepada petani lain
yang sanggupmemenuhinya.
c. Praktik
pajak tanah menjungkirbalikan hukum yang mengatur tentang pemilikan tanah
rakyat sebagai besarnya kekuasaan kepala desa.Seharusnya luas pemilikan
tanahlah yang menentukan besarnya pajak yang harus dibayar, tetapi dalam
praktik pemungutan pajak tanah itu justru berlaku yang sebaliknya. Besarnya
sewa yang sanggup dibayarlah yangmenentukan luas tanah yang boleh dikuasai
seseorang.
E. Masa
Pemerintahan Gubernur Johanes van den Bosch
Pada tahun 1830
Gubernur Jenderal van den Bosch menetapkankebijakan pertanahan yang dikenal
dengan sistem Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel. Dalam sistem tanam paksa ini
petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang secara langsung
maupun tidak langsungdibutuhkan oleh pasar internasional pada waktu itu.Hasil
pertanian tersebutdiserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan
apapun, sedangkan bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian
wajibmenyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya
atau66 hari untuk waktu satu tahun.Adanya monopoli pemerintah dengan sistem
tanam paksa dalamlapangan pertanian telah membatasi modal swasta dalam lapangan
pertanian besar.Di samping pada dasarnya para penguasa itu tidak mempunyai
tanahsendiri yang cukup luas dengan jaminan yang kuat guna dapat
mengusahakandan mengelola tanah dengan waktu yang cukup lama.Usaha yang
dilakukanoleh pengusaha swasta pada waktu itu adalah menyewa tanah dari
negara.Tanah-tanah yang biasa disewa adalah tanah-tanah negara yang
masihkosong.
F. Agrarische
Wet (AW)
Pada tahun 1870
lahirlah Agrarische Wet yang merupakan pokok penting dari hukum agraria dan
semua peraturan pelaksanaan yangdikeluarkan pemerintah masa itu sebagai
permulaan hukum agraria barat. Ideawal dikelularkannya Agrarische Wet (AW) ini
adalah sebagai respon terhadap keinginan perusahaan-perusahaan asing yang
bergerak dalam bidang pertanian untuk berkembang di Indonesia, namun hak-hak
rakyat atastanahnya harus dijamin. AW ini merupakan undang-undang di negeri
Belanda yangditerbitkan pada tahun 1870, dengan diundangkan dalam
S.1870-55.dimasukkannya ke Indonesia, dengan memasukkan Pasal 62 RR, yang
padamulanya terdiri dari 3 ayat, dengan penambahan 5 ayat tersebut
sehinggaPasal 62 RR menjadi 8 ayat, yakni ayat 4 sampai dengan ayat 8. pada
akhirnyaPasal 62 RR ini menjadi Pasal 51 IS.
Pasal 51 IS ini memuat:
a. Gubernur
Jenderal tidak boleh menjual tanah.
b. Di
dalam larangan ini tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang
diperuntukan perluasan kota dan desaserta mendirikan
bangunan-bangunankerajinan/industri.
c. Gubernur
Jenderal dapat menyewakan tanah dneganketentuan yang ditetapkan dengan
ordonansi.Ada puntanah-tanah yang telah dibuka oleh orang-orangIndonesia asli,
atau yang dipunyai oleh desa sebagaitempat pengembalaan umum atau atas dasar
lainnyatidak boleh dipersewakan.
d. Menurut
peraturan-peraturan yang ditetapkan denganordonansi diberikan tanah dengan Hak
Erfacht selamawaktu tidak lebih dari 75 tahun.
e. Gubernur
Jenderal menjaga jangan sampai ada penberian Hak yang melanggar Hak penduduk
asli.
f. Gubernur
Jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanahyang telah dibuka oleh orang-orang
Indonesia asliuntuk keperluan mereka sendiri, atau tanah-tanahkepunyaan desa
sebagai tempatpengembalaan umumatas dasar lainnya, kecuali untuk kepentingan
umum berdasrkan Pasal 133 dan untuk keperluan pengusahaantanaman yang
diselenggarakan atas perintah atasandengan pemberian ganti rugi atas tanah.
g. Tanah
yang dipunyai oleh orang-orang Indonesia aslidengan Hak Milik (hak pakai
perseorangan yang turun temurun) atas permintaan pemiliknya yang syahdiberikan
kepadanya dengan hak eigendomdengan pembatasan-pembatasan seperlunya yang
ditetapkandengan ordonansi dan dicantumkan dalam surateigendomnya, yakni
mengenai kewajiban-kewajibanterhadap negara dan desa serta wewenang untuk
menjualnya kepada bukan orang Indonesia asli.
h. Menyewakan
tanah-tanah atau menyerahkan tanahuntuk dipakai oleh orang-orang Indonesia
asli, kepada bukan orang Indonesia asli dilakukan menurut peraturan-peraturan
yang ditetapkan dengan ordonansi.
Terbentuknya AW
merupakan upaya desakan dari para kalangan pengusaha di negeri Belanda yang
karena keberhasilan usahanya mengalami kelebihan modal, karenanya memerlukan
bidang usaha baru untuk menginvestasikannya.Dengan banyaknya persediaan tanah
hutan di jawa yang belum dibuka, para pengusaha itu menuntut untuk diberikannya
kesempatan membuka usaha di bidang perkebunan besar.Sejalan dengan semangat
liberalisme yang sedang berkembang dituntut pengantian system monopolinegara
dan kerja paksa dalam melaksanakan cultuur stelsel, dengan sistem persaingan
bebas dan sistem kerja bebas, berdasarkan konsepsi kapitalisme liberal.
Tuntutan untuk
mengakihiri sistem tanam paksa dan kerja paksa dengan tujuan bisnis tersebut,
sejalan dengan tuntutan berdasarkan pertimbangan kemanusiaan dari golongan lain
di negeri Belanda, yang mellihat terjadinya penderitaan yang sangat hebat di
kalangan petani Jawa,sebagai akibat penyalahgunaan wewenang dalam melaksanakan
cultuur stelsel oleh para pejabat yang bersangkutan.Dari itu jelaslah tujuan
dikeluarkannya AW adalah untuk membukakemungkinan dan memberikan jaminan hukum
kepada para pengusaha swastaagar dapat berkembang di Hindi Belanda.Selain itu
AW juga bertujuan untuk:
A. Memperhatikan
perusahaan swasta yang bermodal besar dengan jalan:
a. Memberikan
tanah-tanah negara dengan hak Erfacht yangberjangkawaktu lama, sampai 75 tahun.
b. Untuk
memberikan kemungkinan bagi para pengusaha untuk menyewakan tanah adat/rakyat.
B. Memperhatikan
kepentigan rakyat asli, dengan jalan :
a. Melindungi
hak-hak tanah rakyat asli.
b. Memberikan
kepada rakyat asli untuk memperoleh hak tanah baru(Agrarische eigendom).
Untuk
pelaksanaan AW tersebut, maka diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan dan
keputusan, diantaranya dalam Agrarische Besluit.
a. Agrarische
Besluit (AB)
Ketentuan-ketentuan AW pelaksanaannya diatur lebih
lanjuta dalam peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan yang paling penting
adalah apayang dimuat dalam Koninklijk Besluit (KB), yang kemudian dikenal
dengan nama Agrarische Besluit (AB), S.1870-118.
AB
terdiri dari tiga bab, yaitu;
a. Pasal
1-7 tentang hak atas tanah;
b. Pasal
8-8b tentang pelepasan tanah;
c. Pasal
19-20 tentang peraturan campuran.
Dalam Pasal 1 AB tersebut dimuat satu pernyataan
yang asas yangsangat penting bagi perkembangan dan pelaksanaan hukum
tanahadministratif Hindi Belanda.Asas tersebut dinilai sebagai kurang
menghargai, bahkan “memperkosa” hak-hak rakyat atas tanah yang bersumber pada
hukum adat.Dinyatakan dalam Pasal 1 AB tersebut :
“Behoudens opvolging
van de tweede en derde bepaling der voormelde wet,blijft het beginsel
gehandhaafd, dat alle grond, waarop niet anderen reght van eigendom wordt
bewezen, domein van de staat is”.
Jika
diterjemahkan:“Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan
3Agrarische Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak lain
tidak dapar membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domeinnegara (milik)
negara”.
AB hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, maka apa
yang dinyatakan dalam Pasal 1 AB tersebut, yang dikenal sebagai Domein
Verklaring (Pernyataan Domein) semula juga berlaku untuk Jawa dan Madura saja.
Tetapi kemudian pernyataan domein tersebut diberlakukan juga untuk daerah
pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura, dengan suatu ordonansi yang
diundangkan dalam S.1875-119a.Maksud dari adanya pernyataan domein itu adalah
untuk memberikan ketegasan sehingga tidak ada keragu-raguan, bahwa satu-satunya
penguasa yang berwenang untuk memberikan tanah-tanah kepada pihak lain adalah
Pemerintah. Dengan adanya pernyataan domein, maka tanah-tanah di Hindi Belanda
dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Vrijlands
Domein atau tanah negara bebas, yaitu tanah yang di atasnyatidak ada hak
penduduk bumi putera.
b. Onvrijlands
Domein atau tanah negra tidak bebas, yaitu tanah yang diatasnya ada hak
penduduk maupun desa.
Dalam praktiknya, pernyataan domein
mempunyai dua fungsi, yakni:
a. Sebagai
landasan hukum bagi pemerintah kolonial untuk dapat memberikan tanah dengan
hak-hak barat seperti yang diatur dalam KUHPerdata, misalnya hak eigendom, hak
opstal, dan hak erfacht.
b. Untuk
keperluan pembuktian pemilikan, yaitu apabila negara berperkara,maka negara
tidak pelu membuktikan hak eigendomnya atas tanah, tetapi piha lainlah yang
wajib membuktikan haknya. Untuk diketahui bahwa hak rakyat Indonesia atas
tanahnya adalah berdasarkan hukum adat, sedangkan dalam hukum adat tidak adak
ketentuan hukum yang sama dengan Pasal 570 BW, maka denga sekaligus semua
tanahdari rakyat Indonesia termasuk menjadi tanah negara (domein negara). Yang
tidak termasuk tanah negara, menurut Pemerintah Hindia Belanda, adalah
tanah-tanah seperti di bawah ini:
a. Tanah-tanah
daerah swapraja;
b. Tanah-tanah
yang menjadi eigendom orang lain;
c. Tanah-tanah
partikulir;
d. Tanah-tanah
eigendom agraria (Agrarische eigendom).
b. Erfacht
Ordonantie
Mengenai
pemberian hak erfacht kepada para pengusaha tersebut,menurut AW harus diataur
dalam ordonansi. Maka daka dalam pelaksanaannya dijumpai berbagai peraturan
mengenai hak erfacht, yaitu:
a. Untuk
Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja:
a. Agrarische
Besluit (S.1870-118) Pasal 9 sampai dengan 17;
b. Ordonansi
yang dimuat S.1872-237a, yang beberapa kali mengalami perubahan, terakhir dalam
tahun 1913 disusun kembali dandiundangkan dalam S.1913-699.
b. Untuk
luar Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja: semulaada beberapa
ordonansi yang mengatur hal-hal mengenai pemberian hak erfacht yang berlaku di
daerah-daerah tertentu,
a. S.1874f
untuk Sumatera.
b. S.1877-55
untuk keresidenan Manado.
c. S.1888-58
utnuk daerahZuider-en Oosteradeling Borneo.
Dalam tahun 1914 diundangkan satu ordonansi utnuk
semua daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan dimuat dalam
S.1914-367Ordonansi yang baru itu dikenal dengan sebutan “Erfachtordonantie
Buitengewesten”.Semua ordonansi yang lama ditarik kembali kecualiPasal 1-nya
masing-masing.
a. Untuk
daerah-daerah swapraja luar Jawa:
Diatur dalam S.1910-61
dengan sebutan erfachtordonantie Zelfbesturende Landschappen
Buitengewesten.Berlakunya di masing-masing swapraja menurut petunjuk Gubernur
Jenderal.Sebelum adanya ordonansi itu di daerah-daerah swapraja di luar Jawa
tidak diberikan hak erfacht, melainkan hak konsesi untuk perusahaan kebun
besar. Persewaan tanah rakyat kepada perusahaan kebun besar diatur pula
denganordonansi, yang telah mengalami perubahan-perubahan menjadi:
a. Grondhuurordonantie
(S.1918-88), yang berlaku di Jawa danMadura, kecuali Surakarta dan Yogyakarta;
b. Vordtenlands
Groondhuur Reglement (S.1918-20), yang berlaku didaerah swapraja Surakarta dan
Yogyakarta.
c. Agrarische
Eigendom
Agrarische
eigendom adalah suatu koninklijk besluit tertanggal 16 April 1872, Nomor: 29,
mengenai hak agrarische eigendom. Yang dimaksud dengan Agrarische eigendom
adalah suatu hak yang bertujuan untuk memberikan kepada orang-orang
Indonesia/pribumi, suatuhak yang kuat atas sebidang tanah.Agrarische eigendom
ini, dalam praktik untuk membedakan hak eigendom sebgaimana yang dimaksud dalam
BW. Agrarische eigendom diatur dalam Pasal 51 ayat (7) I.S., diatur lebih
lanjut dalam Pasal 4 AB kemudian diatur lebih lanjut dalam KB tanggal 16April
1872 Nomor : 29 (S. 1872-117) dan S. 1837-38. berdasarkan KB tersebut, tata cara
memperoleh Agrarische eigendom dijelaskan di bawah ini, yaitu:
a. Apabila
seseorang Indonesia asli (=bumi putera) berkeinginan agar hak milik atas
tanahnya, dirubah menjadi Hak Agrarische eigendom, maka pemohonannya harus
diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat,agar ia ditetapkan sebagai
pemiliknya. Inilah yang disebut: uitwijzing van erfelijk individucel
gebbruikrecht. Ini hanya mungkin apabila tanahnya dilkuar sengketa, artinya
tanpa berperkara dengan pihak lain.
b. Untuk
ini semua sebelumnya diadakan pengumuman, di desanya yang bersangkutan untuk
memberi kesempatan kepada pihak ketiga yangmerasa berkepentigan akan mengajukan
keberatan-keberatan terhadap permohonanuitwijzing van erfelijk individucel
gebbruikrecht di atas.
c. Dengan
berlandaskan keputusan ketua pengadilan negeri tersebut, makaagrarische
eigendomdapat diberikan kepada pemohon oleh bupati yang bersangkutan bertindak
untuk dan atas nama pemberian gubernur jenderal.
Agrarische eigendomyang telah diperoleh dari bupati
tersebut, makaAgrarische eigendomtersebut harus didafatarkan menurut
peraturansebagaimana dimuat dalam S.1873-38, dan kepada pemiliknya akanmendapat
surat tanda bukti hak. Setiap peralihan hak, pembebanan dengan hypotheek, harus
didaftarkandi Kantor Pengadilan Negeri.
Tujuan adanyaAgrarische eigendomsebetulnya bertujuan
untuk memberikan kepada orang-orang Indonesia asli dengan semata hak yang
kuat,yang pasti karena terdaftar dan haknya dapat dibebani dengan
hypotheek.Tetapi dalam praktiknya kesempatan untuk menggantikan hak miliknyadengan
menjadiAgrarische eigendomtidak banyak dipergunakan.
G. Hukum
Tanah Perdata (Kitab Undang-undang Hukum Perdata)
Sejak Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945, tidak sejengkalpun lagi tanah air Indonesia yangt
dijajah bangsa Belanda ataupun bangsa-bangsa lainnya. Namun, tidak dapat
dipungkiri, peraturan-peraturan hokum yang ditinggalkan penjajah Belanda masih
membelenggu bangsa Indonesia. KUHPerdata yang berlaku di Indonesia merupakan
politik hukum Belandayang memberlakukan KUHPerdata yang berlaku di Belanda,
dengan beberapa perubahan, berdasarkan asas konkordansi diberlakukan di
Indonesia.
Di Indonesia terdapat hukum perdata
yang beragam (pluralistis). Pertama, terdapat hukum yang disesuaikan untuk
segala golonganwarga negara seperti yang sudah diuraikan di atas:
a. Untuk
bangsa Indonesia asli, berlaku Hukum Adat, yaitu hukum yang sejak dahulu telah
berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi
hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mangenai segala soal dalam kehidupan
masyarakat.
b. Untuk
warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan Eropa berlaku Kitab
Undang-udang Hukum Perdata (BW) dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (WvK),
dengan pengertian, bahwa bagi golongan Tionghoa mengenai BW tersebut ada
sedikit penyimpangan yaitu bagian 2 dan 3 dari Titel IV Buku I (mengenai
upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai “penahanan” pernikahan) tidak
berlaku bagi mereka,sedangkan untuk mereka ada pula “Burgirlijk Stand
tersendiri. Selanjutnya ada pula suatu peraturan perihal pengangkatan anak
(adopsi), karena hal ini tidak terkenal di dalam BW.
Sebagai akibat
politik hukum tersebut, maka sebagaimana halnya hukum perdata, hukum tanah pun
berstruktur ganda atau dulaistik, dengan berlakunya bersamaan perangkat
peraturan-peraturan hukum tanah adat, yang bersumber pada hukum adat yang tidak
tertulis dan hukum tanah barat yang pokok-pokok ketentuannya terdapat dalam
buku II KUHPerdata yang merupakan hokum tertulis.Ini berarti, bahwa
hubungan-hubungan hukum dan peristiwa-peristiwahukum di kalangan orang-orang
dari golongan bumi putera diselesaikan menurutketentuan-ketentuan hukum adatnya
masing-masing.
Demikian pula
dengankalangan orang-orang dari golongan yang lain. Hukum yang ditetapkan
adalahhukum yang berlaku untuk golongan masing-masing.Adapun hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang pribumi danorang-orang non pribumi diselesaikan apa
yang disebut Hukum Antar Golonganatau hukum intergentiel. Dalam peristiwa
hubungan hukum semacam itu timbul pertanyaan hukum mana yang berlaku.
Pertanyaan itu timbul karena pemerintahHindia Belanda menganut apayang disebut
asas persamaan derajat atau persamaan penghargaan bagi stelse-stelsel hukum
yang berlaku, baik hukum barat, hukum adat golongan pribumi maupun hukum adat
golongan timur asing bukan Cina.Tidak ada salah satu di antaranya yang superior
atau dihargai lebih tinggi dariyang lain. Maka dalam menyelesaikan peristiwa
hukum antar golongan tidak musti salah satu stelsel hukum tertentu yang harus
diberlakukan.Perihal peraturan hukum yang mengatur tentang hukum agraria
dalamKUHPerdata adalah Buku II KUHPerdata selama menyangkut tentang bumi, air
dan ruang angkasa.Dalam buku II KUHPerdata tersebut terdapat beberapa jenis hak
atastanah barat yang dikenal yaitu:
a. Tanah
eigendom, yaitu suatu hak atas tanah ang pemiliknya mempunyaikekuatan mutlak
atas tanah tersebut;
b. Tanah
hak opstal, yaitu suatu hak yang memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk
memiliki sesuatu yang di atas tanah eigendom, pihak lainyang dapat berbentuk
rumah atau bangunan, tanaman dan seterusnya disamping hak opstal tersebut
memberikan wewenang terhadap benda-benda tersebut kepada pemegang haknya juga
diberikan wewenang-wewenang yaitu:
1. Memindah-tangankan
benda yang menjadi haknya kepada pihak lain.
2. Dapat
dijadikan jaminan utang.
3. Dapat
diwariskan.Dengan catatan hak opstal tersebut belum habis waktunya menurut
perjanjianyang telah ditetapkan bersama.
c. Tanah
hak erfacht, yaitu hak untuk dapat diusahakan/mengolah tanah oranglain dan
menarik atau hasil yang sebanyak-banyaknya dari tanah tersebut, keweangangan
pemegang hak erfacht hampir sama dengan kewenangan hak opstal.
d. Tanah
hak gebruis, yaitu tanah hak pakai atas tanah orang lain.
Di samping hak
atas tanah barat tersebut di atas, juga ada tanah-tanah dengan hak Indonesia,
seperti tanah-tanah dengan hak adat.Ada pula tanah-tanah dengan hak ciptaan
pemerinthan Hindia Belanda seperti agararische eigendom, landerijn
bezitrecht.Juga dengan hak-hak ciptaan pemerintah swapraja, seperti grant
sultan.Tanah-tanah dengan hak-hak adat danhak-hak ciptaan pemerinthan Hindia
Belanda dan swapraja tersebut, bisa disebut tanah-tanah hak Indonesia, yang
cakupannya lebih luas dari tanah-tanah hak adat.Tanah-tanah hak barat dapat
dikatakan hampir semuanya terdaftar pada Kantor Overschrijvings Ambtenar
menurut Overschrijvings Ordonantie S. 1834-27 dan dipetakan oleh Kantor
Kadaster menurut peraturan-peraturan kadaster.Tanah hak barat ini tunduk pada
hukum tanah barat.Artinya hak-hak dan kewajiban pemegang haknya, persyaratan
bagi pemegang haknya, hal-hal mengenai tanah yang dihaki, serta perolehannya,
pembebanannya diatur menuurut ketentuan-ketentuan hukum tanah barat.Tanah-tanah
hak adat hampir semuanya belum didaftar.Tanah-tanah itu tunduk pada hukum adat
yang tidak tertulis. Tanah-tanah hak adat, yang terdiri atas apa yang disebut
tanah ulayat masyarakat-masayrakat hukum adat dan tanah perorangan, seperti hak
milik adat, merupakan sebagian terbesar ranah HindiBelanda.
Untuk
tanah-tanah hak ciptaan pemerintah swapraja, di daerah-daerahswpraja Sumatera
Timur dipunyai dengan hak-hak ciptaan pemerintah swapraja.Di daerah Kesultanan
Deli misalnya dikenal tanh-tanah yang dipunyai dengan apayang disebut:
1. Grant
Sultansemacam hak milik adat, diberikan oleh pemerintah swapraja,khusus bagi
para kaula swapraja, didaftar di kantor pejabat swapraja.
2. Grant
Controleu, diberikan oleh pemerintah swapraja bagi bukan kaulaswapraja,
didaftar di kantor Controleur (pejabat pangreh praja Belanda)
3. Grant
Deli Maatschappij, terdapat di kota Medan dan diberikan oleh DeliMaatschappaij,
juga didaftar di kantor perusahaan tersebut. DeliMaatschappaij adalah suatu
perusahaan yang mempunyai usah perkebunan besar tembakau dan bergerak juga di
bidang pelayanan umum dan tanah,memperoleh tanah yang luas dari pemerintah
swapraja Deli denganGrant.Tanah tersebut dipetak-petak dan diberikan kepada
yang memerlukan olehDeli Maatschappaij kepada juga dengan grant yang merupakan
“sub-grant”dikenal dengan sebutan “grant D”, singkatatan dari grant Deli
Maatschappaij.
4. Hak
konsesi untuk perusahaan perkebunan besar, diberikan oleh pemerintahswapraja
dan didaftar di kantor residen.
H. Sesudah
Tahun 1942
Pada periode sesudah tahun 1942, terjadi
situasi yang cenderung pada:
a. Periode
kacau di bidang pemerintahan mengakibatkan kebijaksanaan pemanfaatana tanah dan
penguasaan tanah tidak tertib.
b. Tujuan
utama, usaha menunjang kepentingan Jepang.
c. Permulaan
akupasi liar pada tanah-tanah perkebunan atau penebangan liar
d. Usaha
pengembalian kembali perkebunan milik Belanda
e. Kerusakan
fisik tanah karena politik bumi hangus dan penggunaan tanah melampaui batas
kemampuannya.
Pada masa penjajahan tersebut keadaan hukum agraria
Indonesia menurut hukum adat tidak terlepas dari hukum adat daerah setempat
antara lain, perangkat hukumnya tidak tertulis, bersifat komunal, bersifat
tunai dan bersifat langsung. Sedangakan mengenai hak atas tanah mengenal
peristilahan yang lain:
a. Hak
persekutuan atas tanah yaitu hak ulayat;
b. Hak
perorangan atas tanah:
c. Hak
milik, hak yayasan;
d. Hak
wenang pilih, hak mendahulu;
e. Hak
menikmati hasil;
f. Hak
pakai;
g. Hak
imbal jabatan;
h. Hak
wenang beli.
Pada masa kolonial ini tanah-tanah hak adat tidak
terdaftar, kalaupun ada hanyalah bertujuan untuk bukti setoran pajak yang telah
dibayar oleh pemiliknya, sehingga secara yuridis formal bukan sebagai
pembuktian hak.
I. Hukum
Agraria Masa Kemerdekaan Sampai Tahun 1960
Diproklamirkannya
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas
nama Bangsa Indonesia mengakibatkan bangsa Indonesia memperoleh kedaulatan di
tangan sendiri. Pada masa itu pendudukantanah oleh masyarakat sudah menjadi hal
yang sangat komplek karena masyarakat yang belum berkesempatan menduduki tanah
perkebunan dalam waktu singkat berusaha untuk menduduki tanah.
Sejak pengakuan keadulatan oleh
Belanda atas negara Indonesia, barulah pemerintah mulai menata kembali
pendudukan tanah oleh rakyat denganmelakukan hal-hal berikut:
a.
Mendata kembali berapa luas tanah dan
jumlah penduduk yangmengusahakan tanah-tanah perkebunan untuk usaha pertanian.
Di daerahMalang luasnya tanah perkebunan ± 20.000 Ha. pendudukan oleh
rakyatseluas ± 8.000 Ha. Daerah Kediri luas tanah perkebunan ± 23.000 Ha.
pendudukan oleh rakyat seluas ± 13.000 Ha. dan menurut perkiraan dari luastanah
perkebunan di Jawa yang seluas ± 200.000 Ha. telah diduduki rakyatseluas ±
80.000 Ha.
b.
Pendudukan tanah perkebunan yang hampir
dialami oleh semua perkebunanlambat laun akan menghambat usaha pembangunan
kembali suatu cabang produksi yang penting bagi negara serta memperlambat
pesatnya kemajuan produksi hasil-hasil perkebunan yang sangat diperlukan.
Sebagian tanah perkebunan yang terletak di daerah pegunungan sehingga taidak
cocok untuk usaha pertanian, untuk itu perlu ditertibkan.
c.
Pemakaian tanah-tanah perkebunan yang
berlokasi di daerah pegunungantersebut dikuatirkan akan menimbulkan bahayb
erosi dan penyerapan air.
d.
Pemakaian tanah-tanah oleh rakyat di
beberapa daerah menimbulkanketegangan dan kekeruhan yang membahayakan keamanan
dan ketertibanumum.
Untuk itu, maka dikeluarkanlah Undang-undang Nomor:
8 Tahun 1954 tentang: Penyelesaian soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat.
Penyelesaian akan diusahakan bertingkat 2 (dua) sebagai berikut:
a. Tahap
pertama; terlebih dahulu akan diusahakan agar agenda segala sesuatudapat
dicarikan penyelesaiannya atas dasar kata sepakat antar pemilik perkebunan
dengan rakyat/penggarap.
b. Tahap
kedua; apabila perundingan sebagaimana dimaksud pada angka 1(satu) tidak
berhasil, maka dalam rangka penyelesaian penggarapan tanah perkebunan tersbut
akan mengambil kebijakan sendiri dengan memperhatikan.
c. Kepentingan
rakyat dan kepentingan penduduk, letak perkebunan yang bersangkutan.
d. Kedudukan
perusahaan perkebunan di dalam susunan perekonomuian negara.
Agar
pelaksanaan dari keputusan tersebut dapat berjalan dengan sebaik- baiknya, maka
diatur ketentuan sebagai berikut:
a. Kemungkinan
pencabutan dan pembatalan hak atas tanah perkebunan milik para pengusaha, baik
sebagian meupun seluruhnya, jika mereka dengansengaja menghalangi upaya
penyelesaian;
b. Ancaman
hukum terhadap mereka yang melanggar atau menghalangi.
c. Ancaman
hukuman terhadap mereka yang tidak dengan seizin pemilik perkebunan, masih
terus memakai tanah perkebunan sesudah tuntutan inidiberlakukan.
d. Ketentuan
tentang harus mengadakan pengosongan.
Untuk
mencegah pendudukan kembali tanah perkebunan oleh rakyat, maka pemerintah
megeluarakan perarturan tentang larangan pendudukan tanah tanpa izin yang
berhak yaitu Undang-undang Nomor: 51 Prp. Tahun 1960.
Selain
ketentuan dia atas, dalam upaya menata kembali hukum pertanahan pemerintah
telah membuat kebijakan dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan
sebagai berikut:
a. Undang-undang
Nomor: 19 Tahun 1956 tentang: Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik
Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi.
b. Undang-undang
Nomor: 28 Tahun 1956 tentang : Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah
Perkebunan.
c. Undang-undang
Nomor : 29 Tahun 1956 tentang : Peraturan Pemerintah dan Tindakan-tindakan
Mengenai Tanah Perkebunan.
d. Ketentuan
lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah milik warga negara Belanda yang
kembali ke negerinya.
J. Politik
Hukum Agraria Kolonial
Politik agraria dimaksudkan
adalah kebijaksanaan dalam bidang ke-agraria-an. Prof. Dr. Mahfud M.D. dalam
bukunya “Membangun Politik Hukum,Menegakkan Konstitusi”, memberikan pengertian
politik hukum. Dalam bukunya itudisebutkan bahwa politik hukum adalahlegal
policyatau arah hukum yang akandiberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan
negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum
lama.
Dengan demikian,
politik hukum agraria merupakan arah kebijaksanaanhukum dalam bidang agraria
dalam usaha memelihara, mengawetkan,memperuntukan, mengusahakan, mengambil
manfaat, mengurus dan membagi tanahdan sumber daya alam lainnya yang terkandung
di dalamnya untuk kepentingan dankesejahteraan rakyat. Dimana dalam
pelaksanaanlegal policyitu dapat dituangkandalam sebuah peraturan
perundang-undangan yang memuat asas, dasar, dan normadalam bidang agraria dalam
garis besar.
Sementara itu,
politik hukum agraria kolonial adalah prinsip dagang, yakniuntuk mendapatkan
hasil bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin,kemudian dijual
dengan harga yang setinggi-tingginya. Tujuannya tidak lain mencarikeuntungan
sebesar-besarnya bagi diri pribadi penguasa kolonial yang merangkapsebagai
pengusaha. Keuntungan ini juga dinikmati oleh pengusaha Belanda dan pengusaha Eropa.Sebaliknya
bagi rakyat Indonesia menimbulkan penderitaan yangsangat mendalam.
Sistem kolonial
ditandai dengan 4 ciri pokok, yaitu dominasi, eksploitasi, diskriminasi dan
dependensi.Prinsip dominan terjadi dalam kekuasaan golongan penjajah yang
minoritas terhadap penduduk pribumi yang mayoritas.Dominasi iniditopang oleh
keunggulan militer kaum penjajah dalam menguasai dan memerintah penduduk
peribumi.Eksploitasi atau pemerasan sumber kekayaan tanah jajahan untuk
kepentingan negara penjajah.Penduduk pribumi diperas tenaga dan hasil
peoduksinya unutk diserahkan kepada penjajah, yang kemudian oleh pihak
penjajahitu dikirim ke negara induknya untuk kemakmuran mereka
sendiri.Diskriminasi atau perbedaan ras dan etnis.Golongan penjajah dianggap
sebagai golongan yangsuperior, sedangkan penduduk pribumi yang dijajah
dipandang sebagai bangsa yangrendah atau hina.Dependensi atau ketergantungan
masyarakat jajahan terhadao penjajah. Masyarakat terjajah menjadi makin
tergantung kepada penjajah dalam halmodal, teknologim pengetahuan, dan
keterampilan karena mereka semakin lemah danmiskin.
Politik hukum agraria kolonial
dimuat dalam Agrarische Wet (AW) S.1870-55 dengan isi dan maksud serta tujuan
sebagai berikut :
a. Tujuan
primer: Memberikan kesempatan kepada pihak swasta (asing) mendapatkan bidang
tanahyang luas dari pemerintah unutk waktu yang cukup lama dengan uang
sewa(canon) yang murah. Di samping itu untuk memungkinkan orang asing (bukan
bumi putera) menyewa atu mendapat hak pakai atas tanah langsung dari orang bumi
putera, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan ordonansi.Meaksudnya
adalah memungkinkan berkembangnya perusahaan pertanian swastaasing.
b. Tujuan
sekunder, yaitu Melindungi hak penduduk Bumi Putera atas tanahnya, antara lain:
1. Pemberian
tanah dengan cara apapun tidak boleh mendesak hak BumiPutera.
2. Pemerintah
hanya boleh mengambil tanah Bumi Putera apabila diperlukanuntuk kepentingan
umum atau untuk tanaman-tanaman yang diharuskan dariatasan dengan pemberian
gantik kerugian.
3. Bumi
Putera diberikan kesempatan mendapatkan hak atas tanah yang kuat yaitu hak
eigendom bersyarat (agrarische eigendom).
4. Diadakan
peraturan sewa menyewa antara Bumi Putera dengan bukan BumiPutera.
Dalam perjalanan
berlakunya AW terjadi penyimpangan terhadap tujuanskundernya, yaitu adanya
penjualan tanah-tanah mili pribumi langsung kepada orang-orang Belanda atau
Eropa lainnya.Untuk memberikan perlindungan hukum terhadaptanah-tanah milik
Bumi Putera dari pembelian orang-orang Belanda dan Eropalainnya, maka
pemerintah Hindi Belanda mengeluarkan kebijaksanaan berupa Vervreemdingsverbod
S.1875-179. Yang dimaksud dengan Vervreemdingsverbod adalah hak milik (adat)
atas tanah tidak dapat dipindahtangankan oleh orang-orang Indonesia asli kepada
bukan orang Indonesia asli dan oleh karena itu semua perjanjian yang bertujuan
untuk memindahkan hak tersbut, baik secara langsung maupun tidak langsung
adalah batal karenanya.
Selain AW, maka
pemerintah Hindia Belanda juga telah mengeluarkan kebijakan agraria dalam
Agrarische Besluit (AB) sebagai pelaksanaan dari ketentuan AW. AB ini
diundangkan dalam S.1870-118.yang terpenting dalam AB ini adalah adanya
pernyataan domein negara atau lebih dikenal dengan Domein Verklaring. Berkaitan
dengan struktur agraria warisan penjajah, menurut Imam Soetiknjo, bahwa
struktur agraria warisan penjajah sebagai hasil politik agraria kolonial
apabila:
a. Dipandang
dari sudut hukumnya tidak ada kesatuan hukum.
1. Ada
dua macam (dualisme hukum), yaitu hukum barat yang dibawa dandiberlakukan di
Hindia Belanda oleh pihak penjajah Belanda dan hukum adat penduduk Bumi Putera.
2. Hukum
adat di Indonesia itu beraneka warna, agak berbeda di pelbagaidaerah (plurisme)
yang dibiarkan terus berlaku selama dianggap tidak bertentangan dengan politik
agraria penjajah.
3. Ada
hak ciptaan baru yang bukan hukum adat tapi yang bukan hukum barat,yaitu hak
agraris eigendom.
b. Dilihat
dari sudut objeknya, tidak ada kesamaan status subjek.
1. Ada
pemegang hak yang orang orang Bumi Putera, ada yang bukan orang Bumi Putera
yang sistem hukumnya berbeda.
2. Yang
bukan Bumi Putera ada:
a. Orang
asing bangsa Eropa/Barat.
b. Orang
keturunan asiang.
c. Orang
Timur Asing.
c. dilihat
dari yang menguasai/memiliki tanah, tidak ada keseimbangan dalam hubungan
antara mausia dengan tanah.
1. Ada
besar golongan manusia (petanai) yang tidak mempunyai tanah atauyang mempunyai
tanah yang sangat sempit.
2. Di
lain pihak ada golongan kecil manusia (penguasa, pengusaha asing, tuantanah,
pemilik tanah partikelir) yang memiliki/menguasai tanah;
d. Dilihat
dari sudut penggunaan tanah, tidak ada keseimbangan dalam penggunaan tanah.
1. Tanah
di Jawa dan Madura hampir semua sudah dibuka/diusahakan.
2. Di
luar Jawa, Madura dan Bali masih ada tanah luas yang bukan dibuka/diusahakan.
e. Dilihat
dari sudut tertib hukum, tidak ada tertib hukum.
1. Penjajah
Jepang mengambil tanah rakyat atau tanah/rumah orang asingyang menguasai atau
ditangkap, tanpa ambil pusing soal hak yang ada diatasnya.
2. Rakyat
sendiri juga menduduki tanah perkebunan, pekarangan bahkanrumah orang
asing/bekas penjajah yang mengungsi secara tidak sah
K. UUPA
TAHUN 1960
Pemerintahan
Nasonal dalam menetapkan UUPA sebagai hukum agraria nasional telah melakukan
tidak sekedar perbaikan, tetapi juga perombakan terhadap sendi-sendi hukum
agraria kolonial sehingga UUPA memiliki substansi yang berbeda dan lebih sesuai
dengan kepentingan dan nilai-nilai dari bangsa yang sudah merdeka. Proses yang
demikian ini adalah wajar, mengingat hukum harus ditempatkan dalam konteks
masyarakatnya. Hukum lahir dan dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang ada
dalam masyarakat.
Dengan dibentuknya
UUPA, telah dihapuskan dasar-dasar dan peraturan-peraturan hukum agraria
kolonial, dan berakhirnya dualisme dalam hukum agraria dan terselenggaranya
unifikasi hukum.
DAFTAR RUJUKAN
Breman,
Jan & Gunawan Wiradi. 2004. Masa Cerah dan Masa Suram di Jawa. LP3ES-KILTV
Hutagalung,
S. 2008. Kewenangan Pemerintah Bidang Pertanahan. Jakarta: Penerbit PT Rajawali
Press.
Kalo,
S. 2004. Perbedaan Persepsi Mengenai Penguasaan Tanah Dan Akibatnya Terhadap
Masyarakat Petani Di Sumatera Timur
Kartodirjo,
Sartono. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia, Kajian Sosial Ekonomi.
Yogyakarta : Aditya Media
Rajagukguk,
E. 1979. Pemahaman Rakyat tentang Hak Atas Tanah. Makalah. Tidak diterbitkan
Suhadi,
Marchi. 1993. Tanah Sima dalam Masyarakat Majapahit. Jakarta: Disertasi doctor
Universitas Indonesia.
Tauchid,
M. 1952. Masalah Agraria. Penerbit STPN. Jogjakarta.
Tauhid,
Muhamad. 2009. Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran
Rakyat Indonesia. STPN press
Wiradi,
Gunawan. 2001. Prinsip-Prinsip Reforma Agraria, Jalan Penghidupan dan
Kemakmuran Rakyat. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama
JAGODOMINO Agen poker Online Terpercaya dan terbaik di Indonesia
ReplyDelete*Minimal Deposit Hanya Rp 15.000
*Minimal Withdraw Hanya Rp 30.000
*Proses Deposit & Withdraw Super Cepat & aman
*Dilayani Oleh CS yang Profesional dan Ramah 24 Jam
*Player Vs Player Dijamin 100% (Tanpa Robot)
*=================[BIG PROMO]=================*
*Bonus CASHBACK 0.2%-0.5% [SETIAP HARI]
*Bonus REFERENSI 20% [SEUMUR HIDUP]
info selanjutnya silahkan hubungi CS 24 jam yang siap melayani anda...
WA: +855717086677
BBM: jago288
Untuk pendaftaran Langsung Kunjungi Link Resmi Kami